ED's Gathering 2012


BERISTIRAHAT (TIDAK) DALAM DAMAI: SUARA KAMI


Ini adalah waktu dimana semua pertanyaan ditumpahkan. Tempat dimana semua suara dapat terbang dengan bebas. Lalu dahaga kita akan sirna bersama semua jawaban yang terlontar. Koyak lah selembar tirai hitam. Seharusnya.

**********

Pukul 11.11, moderator mempersilahkan dua orang audiens, yang dikepalanya mungkin dipenuhi tanda tanya, untuk mengajukan pertanyaan. Hanya untuk dua orang audiens, waktu mungkin tidak mencukupi untuk lebih banyak pertanyaan. Tiga puluh detik, sembilan puluh detik, dan satu tangan pun teracung tinggi. Cukup menjulang untuk menarik tatap semua audiens. Pria muda bernama Ardy lah sang pemilik tangan teracung itu.

“Baik satu orang lagi, silahkan yang mau bertanya...” Moderator mengundang satu orang lagi untuk bertanya.
Sepi. Tidak terlihat tangan-tangan yang teracung. Atau setidaknya menunjukkan keinginan untuk mengacung. Kemana mereka? Kami hanya melihat wajah-wajah datar, wajah-wajah yang terlalu lugu untuk mengerti, bahkan untuk sekedar mengerti bahwa tanda tanya tidak akan pernah lurus dan akan selalu bengkok. Ada yang asik bercakap dengan orang disampingnya. Ada yang tenggelam dengan gadget canggihnya. Ada yang kesulitan membuka bungkus permen. Ada yang sibuk meraba kolong kursi entah mencari apa. Ada yang melamun. Ada yang tengok kanan tengok kiri, lalu diam. Ada yang mengantuk, kepalanya merunduk perlahan, pelan-pelan, dan tersesatlah dia.

“Ada lagi yang mau bertanya?” Moderator coba memancing seorang lagi pe-nanya. Macam memancing tuna di selokan. Tidak akan dapat. Dan memang tidak ada lagi yang mau bertanya. Akhirnya dipersilahkanlah Ardy untuk mengajukan pertanyaannya.

Pertanyaannya menyangkut masalah transparansi dana. Masalah klasik di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Jakarta. Biaya kuliah di Jurusan ini termasuk mahal. Jauuh lebih mahal dibandingkan jurusan-jurusan tetangga. Bukan masalah besar sebetulnya, dan bukan pula kami berniat untuk membesar-besarkan masalah. Hanya saja dana yang dialokasikan untuk kemahasiswaan dan kegiatan-kegiatan mahasiswa lainnya nampak sulit dicerna akal sehat, akal sakit sekalipun. Alokasi dana yang diterima untuk kemahasiswaan dan kegiatan-kegiatan mahasiswa jauh labih kecil dibandingkan jurusan tetangga. Padahal biaya kuliah di jurusan tetangga jauh lebih murah, sangat jauh.  Dikemanakan saja dana yang selama ini diterima? Bagaimana sistematika pengalokasiannya? Sekiankah untuk gaji pegawai? Sekiankah untuk perawatan bangunan? Dan sekiankah untuk kemahasiswaan serta kegiatan-kegiatan mahasiswa? Lalu bagaimana bisa pengiriman utusan lomba, yang notabene, bisa mengharumkan nama jurusan tidak mendapatkan dana? Mereka berangkat dengan dana sendiri, tanpa sekeping pun uang yang berasal dari dompet jurusan. Bagaimana semua itu bisa terjadi? Tidak lupa disertakan pula data-data yang mendukung pertanyaan serta pernyataan yang tertuang.

Pertanyaan serta pernyataan ini, oleh para perancang acaranya, diharapkan bisa menjadi sebuah pedang tajam yang siap menghunus. Mengoyak tirai hitam yang selama ini terajut dengan kuat. Meruntuhkan tembok tebal, dimana dibaliknya tersimpan misteri yang akan terungkap, seharusnya. Namun selayaknya sebuah harapan, tidak selalu terwujud. Kadang terwujud memang. Tapi tidak melulu, itulah yang kami alami. Awalnya seolah terlihat oleh kami segaris samar keterkejutan di raut wajah mereka, para pejabat jurusan, mendengar pertanyaan itu.
Namun ternyata jawaban yang kami terima sangat jelas, amat jelas, terlalu jelas. Kami bahkan dijanjikan waktu untuk sebuah pertemuan membahas masalah ini. Dan ini sudah lebih dari cukup untuk mematikan suara kami.

Mr. Ifan Iskandar, Ketua Jurusan yang mewakili dosen-dosen lain untuk berbicara, menjawab pertanyaan Ardy dengan logis, lugas, jelas, dan sangat meyakinkan. Dia bilang ‘ini’ dialokasikan untuk ‘ini’, ‘itu’ dialokasikan untuk ‘itu’, disertai sekian alasan mengapa begini mengapa begitu. Jawaban yang membungkam semua suara. Semua tanya. Tidak ada lagi yang berani mempertanyakan. Tidak ada lagi suara. Tak ada lagi yang  bisa dikatakan. Diamnya kami telah banyak berbicara.

**********

“Keep Your Voice Alive”, sebuah tema akbar yang diusung di ED’s Gathering 2012, jelas bertujuan mengajak para insan English Department, khususnya mahasiswa, untuk tidak lagi malu bersuara apalagi takut. Karena bukan hanya uangnya, suara mahasiswa pun amat diperlukan untuk membangun sebuah jurusan yang baik.

ED’s Gathering 2012 menghasilkan satu pertanyaan yang telah, mungkin, terjawab dengan baik. Satu? Ya. Satu saja. Bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan lain? Tidak terjawabkah? Bukannya tidak terjawab, kawan. Tapi memang hanya ada satu pertanyaan yang diajukan. Dari 100 orang yang hadir, hanya satu tangan yang teracung, yang berarti hanya ada satu pertanyaan. Satu suara. Sisanya? Hilang dalam diam. Gerangan apa ini? Malu? Takut? Keduanya?

Hei kawan, kenapa harus malu? Kenapa harus takut? Masih ingat bagaimana abang-abang kita dengan aksi dan suara mereka pada tahun 1966 berhasil menumbangkan singgasana sang Singa Podium, Soekarno? Atau bagaimana suara abang-abang kita berhasil membatalkan, setidaknya menunda, kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Kawan, suara mahasiswa adalah suara kencana. Sakti. Ketika mahasiswa bersuara, bahkan Dewa Petir sekalipun akan melunakkan suara petirnya. Jangan lah pemikiran-pemikiranmu hanya disimpan dan dibiarkan membusuk. Bisa berkarat nanti otak mu.

Yang terjadi di ED’s Gathering 2012 pantas menjadi satu kekhawatiran untuk banyak pihak. Bagaimana mungkin dari 100 jiwa yang hadir, hanya satu orang yang berani mengacungkan tangan dan mengajukan pertanyaan? 100 orang, yang memiliki dua tangan lengkap, seharusnya bisa menjadi 200 acungan tangan, setidaknya 100. Itu artinya akan ada banyak sekali pertanyaan, 100 minimal. Dengan catatan, setiap kepala memiliki cukup nyali untuk bertanya.

Mungkin waktunya tidak cukup untuk lebih banyak pertanyaan? 21 menit bukan waktu yang banyak bukan? Pasti itu penyebab mengapa hanya satu pertanyaan yang sempat tercuat. Ya, masalah waktu, alasan yang bagus Kawan. Sangat bagus. Namun hanya orang-orang kolot yang mempermasalahkan waktu. Sebaiknya kita tidak menyalahkan waktu. Kasihan. Terlalu sering sudah waktu menjadi kambing hitam. Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan waktu. Salahkan diri kita sendiri. Mengapa kita tidak bersuara disaat kita seharusnya bersuara? Suara kita mungkin bisa merubah banyak hal!

Betapa kita mengidap penyakit ‘suara’ yang akut terlihat ketika satu-satunya pertanyaan, perihal transparansi dana, dapat dijawab dengan sangat baik oleh Mr. Ifan Iskandar sang Ketua Jurusan. Tidak ada yang berani menimpali jawaban beliau. Tidak ada yang berani menggali lebih lanjut, lebih dalam, seputar jawaban beliau. Tidak ada yang berani atau tidak ada yang bisa? Tidak tahu. Yang jelas semua orang diam. Ardy si pengaju pertanyaan juga diam, dengan sedikit senyum, agak kecewa tampaknya. Mungkinkah jawaban yang mereka beri adalah sebuah kebenaran hingga tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan? Atau mahasiswa umbel seperti kita terlalu bodoh untuk sekedar menimpali kata-kata seorang Magister Humaniora? Ataukah kita terlalu takut untuk berbicara? Entah. Sekarang kau tanyakan pada dirimu sendiri, bagaimana bisa suara dibungkam suara? Suaranya jelas-jelas telah menelanjangi suara kita. Suaranya membungkam suara kita.

Dulu suara abang-abang kita juga dibungkam, oleh tindakan represif pihak pemerintah yang tidak ingin singgasananya runtuh. Tapi itu tidak berbahaya. Sungguh. Karena satu suara hilang, akan muncul ribuan suara lagi dari belakang. Satu lagi hilang, muncul lagi ribuan. Mati satu tumbuh seribu. Begitu terus. Jadi suara-suara itu akan terus muncul tidak akan pernah lenyap. Yang justru berbahaya adalah ketika suara kita bisa dibungkam oleh suara orang lain. Kau paham kan maksudnya? Ketika pernyataanmu dimentahkan pernyataan pihak lain, dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membela pernyataanmu. Ketika kau punya pertanyaan yang disertai argumen-argumen valid nan jelas, harusnya kau bisa terus menekan pihak penjawab untuk ‘kalah’. Iya kan? Bukannya malah kau terbuai tarian lidahnya, hingga kau tidak bisa berkata apa-apa untuk menimpali jawabannya. Hanya bisa diam sambil mengangguk-angguk. Hanya bisa pasrah menerima. Dan saat itu terjadi, dalam diam mu, percayalah bahwa suaranya telah sukses membungkam suaramu. Suaramu sudah dimatikan suaranya. Apa lagi yang bisa kau lakukan? Tidak ada.

Tapi yang lebih, bahkan paling, berbahaya adalah ketika suara sudah dibungkam oleh si pemilik suara itu sendiri. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, kau pasti sudah mengerti maksudku, fenomena ‘satu pertanyaan’ di ED’s Gathering 2012 telah bercerita banyak. Ketika si pemilik suara sudah membungkam suaranya sendiri, ketika si pemilik suara sudah membunuh suaranya sendiri, tidak ada siapa-siapa yang bisa melakukan apa-apa. Suaranya sudah mati. Bisa dihidupkan lagi, mungkin, tapi pasti sulit. Bagaimana caranya? Jangan tanya padaku, aku pun tidak tahu jawabannya. Mungkin kau bisa bertanya pada kaki-kaki meja yang teronggok di ruang kelas. Katanya mereka sudah mendengar ribuan jenis pertanyaan dari ribuan jenis manusia, mereka pun pernah mendengar ribuan jawaban dari ribuan manusia jenius, pasti mereka pernah mendengar pertanyaan macam ini “Bagaimana cara menghidupkan suara yang telah mati?” Ya, aku pernah coba bertanya pada mereka, pada kaki-kaki meja yang teronggok disudut kelas, dan jawab mereka “Biarkan, biarkan mereka berisirahat dalam damai. Biarkan, biarkan mereka mati. Bersama pemiliknya. Perlahan-lahan.......”

Kawan, “Keep Your Voice Alive” bukan tema yang dibuat sekedar untuk menghiasi banner dan pamflet ED’s Gathering 2012. Bukan pula empat buah kata yang disusun untuk dibiarkan berkarat begitu saja. Lebih dari itu, adalah sebuah ajakan bagi kita semua, untuk menyuarakan suara kita dengan lantang. Untuk tidak hanya menyimpan pemikiran serta ide-ide kita dan membiarkannya membusuk. Untuk tidak membunuh suara kita sendiri.

Ingat Kawan, suara kita adalah suara kencana. Sakti. Suara kita bisa merubah banyak hal. Seperti diamnya kita bisa berpengaruh pada satu masa di depan kita. Suara kita adalah pangkal perubahan. Sadari itu. Jangan biarkan suara kita mati. Karena seperti kata kaki-kaki meja disudut kelas, pemilik suara akan mati seiring mati suaranya. Suara-suara yang terbungkam akan mematikan pemiliknya. Pelan-pelan.

No comments:

Post a Comment