BERISTIRAHAT (TIDAK) DALAM DAMAI:
SUARA KAMI
Ini
adalah waktu dimana semua pertanyaan ditumpahkan. Tempat dimana semua suara
dapat terbang dengan bebas. Lalu dahaga kita akan sirna bersama semua jawaban
yang terlontar. Koyak lah selembar tirai hitam. Seharusnya.
**********
Pukul
11.11, moderator mempersilahkan dua orang audiens, yang dikepalanya mungkin
dipenuhi tanda tanya, untuk mengajukan pertanyaan. Hanya untuk dua orang
audiens, waktu mungkin tidak mencukupi untuk lebih banyak pertanyaan. Tiga
puluh detik, sembilan puluh detik, dan satu tangan pun teracung tinggi. Cukup
menjulang untuk menarik tatap semua audiens. Pria muda bernama Ardy lah sang
pemilik tangan teracung itu.
“Baik
satu orang lagi, silahkan yang mau bertanya...” Moderator mengundang satu orang
lagi untuk bertanya.
Sepi.
Tidak terlihat tangan-tangan yang teracung. Atau setidaknya menunjukkan
keinginan untuk mengacung. Kemana mereka? Kami hanya melihat wajah-wajah datar,
wajah-wajah yang terlalu lugu untuk mengerti, bahkan untuk sekedar mengerti
bahwa tanda tanya tidak akan pernah lurus dan akan selalu bengkok. Ada yang
asik bercakap dengan orang disampingnya. Ada yang tenggelam dengan gadget canggihnya. Ada yang kesulitan
membuka bungkus permen. Ada yang sibuk meraba kolong kursi entah mencari apa.
Ada yang melamun. Ada yang tengok kanan tengok kiri, lalu diam. Ada yang
mengantuk, kepalanya merunduk perlahan, pelan-pelan, dan tersesatlah dia.
“Ada
lagi yang mau bertanya?” Moderator coba memancing seorang lagi pe-nanya. Macam
memancing tuna di selokan. Tidak akan dapat. Dan memang tidak ada lagi yang mau
bertanya. Akhirnya dipersilahkanlah Ardy untuk mengajukan pertanyaannya.
Pertanyaannya
menyangkut masalah transparansi dana. Masalah klasik di Jurusan Bahasa dan
Sastra Inggris Universitas Negeri Jakarta. Biaya kuliah di Jurusan ini termasuk
mahal. Jauuh lebih mahal dibandingkan jurusan-jurusan tetangga. Bukan masalah
besar sebetulnya, dan bukan pula kami berniat untuk membesar-besarkan masalah.
Hanya saja dana yang dialokasikan untuk kemahasiswaan dan kegiatan-kegiatan
mahasiswa lainnya nampak sulit dicerna akal sehat, akal sakit sekalipun.
Alokasi dana yang diterima untuk kemahasiswaan dan kegiatan-kegiatan mahasiswa
jauh labih kecil dibandingkan jurusan tetangga. Padahal biaya kuliah di jurusan
tetangga jauh lebih murah, sangat jauh.
Dikemanakan saja dana yang selama ini diterima? Bagaimana sistematika
pengalokasiannya? Sekiankah untuk gaji pegawai? Sekiankah untuk perawatan
bangunan? Dan sekiankah untuk kemahasiswaan serta kegiatan-kegiatan mahasiswa?
Lalu bagaimana bisa pengiriman utusan lomba, yang notabene, bisa mengharumkan
nama jurusan tidak mendapatkan dana? Mereka berangkat dengan dana sendiri,
tanpa sekeping pun uang yang berasal dari dompet jurusan. Bagaimana semua itu
bisa terjadi? Tidak lupa disertakan pula data-data yang mendukung pertanyaan
serta pernyataan yang tertuang.
Pertanyaan
serta pernyataan ini, oleh para perancang acaranya, diharapkan bisa menjadi
sebuah pedang tajam yang siap menghunus. Mengoyak tirai hitam yang selama ini
terajut dengan kuat. Meruntuhkan tembok tebal, dimana dibaliknya tersimpan
misteri yang akan terungkap, seharusnya. Namun selayaknya sebuah harapan, tidak
selalu terwujud. Kadang terwujud memang. Tapi tidak melulu, itulah yang kami
alami. Awalnya seolah terlihat oleh kami segaris samar keterkejutan di raut
wajah mereka, para pejabat jurusan, mendengar pertanyaan itu.
Namun
ternyata jawaban yang kami terima sangat jelas, amat jelas, terlalu jelas. Kami
bahkan dijanjikan waktu untuk sebuah pertemuan membahas masalah ini. Dan ini
sudah lebih dari cukup untuk mematikan suara kami.
Mr.
Ifan Iskandar, Ketua Jurusan yang mewakili dosen-dosen lain untuk berbicara,
menjawab pertanyaan Ardy dengan logis, lugas, jelas, dan sangat meyakinkan. Dia
bilang ‘ini’ dialokasikan untuk ‘ini’, ‘itu’ dialokasikan untuk ‘itu’, disertai
sekian alasan mengapa begini mengapa begitu. Jawaban yang membungkam semua
suara. Semua tanya. Tidak ada lagi yang berani mempertanyakan. Tidak ada lagi
suara. Tak ada lagi yang
bisa dikatakan. Diamnya kami telah banyak berbicara.
**********
“Keep
Your Voice Alive”, sebuah tema akbar yang diusung di ED’s Gathering 2012, jelas
bertujuan mengajak para insan English Department, khususnya mahasiswa, untuk
tidak lagi malu bersuara apalagi takut. Karena bukan hanya uangnya, suara
mahasiswa pun amat diperlukan untuk membangun sebuah jurusan yang baik.
ED’s
Gathering 2012 menghasilkan satu pertanyaan yang telah, mungkin, terjawab
dengan baik. Satu? Ya. Satu saja. Bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan lain?
Tidak terjawabkah? Bukannya tidak terjawab, kawan. Tapi memang hanya ada satu
pertanyaan yang diajukan. Dari 100 orang yang hadir, hanya satu tangan yang
teracung, yang berarti hanya ada satu pertanyaan. Satu suara. Sisanya? Hilang
dalam diam. Gerangan apa ini? Malu? Takut? Keduanya?
Hei
kawan, kenapa harus malu? Kenapa harus takut? Masih ingat bagaimana abang-abang
kita dengan aksi dan suara mereka pada tahun 1966 berhasil menumbangkan
singgasana sang Singa Podium, Soekarno? Atau bagaimana suara abang-abang kita
berhasil membatalkan, setidaknya menunda, kenaikan harga BBM (Bahan Bakar
Minyak). Kawan, suara mahasiswa adalah suara kencana. Sakti. Ketika mahasiswa
bersuara, bahkan Dewa Petir sekalipun akan melunakkan suara petirnya. Jangan
lah pemikiran-pemikiranmu hanya disimpan dan dibiarkan membusuk. Bisa berkarat
nanti otak mu.
Yang
terjadi di ED’s Gathering 2012 pantas menjadi satu kekhawatiran untuk banyak
pihak. Bagaimana mungkin dari 100 jiwa yang hadir, hanya satu orang yang berani
mengacungkan tangan dan mengajukan pertanyaan? 100 orang, yang memiliki dua
tangan lengkap, seharusnya bisa menjadi 200 acungan tangan, setidaknya 100. Itu
artinya akan ada banyak sekali pertanyaan, 100 minimal. Dengan catatan, setiap
kepala memiliki cukup nyali untuk bertanya.
Mungkin
waktunya tidak cukup untuk lebih banyak pertanyaan? 21 menit bukan waktu yang
banyak bukan? Pasti itu penyebab mengapa hanya satu pertanyaan yang sempat
tercuat. Ya, masalah waktu, alasan yang bagus Kawan. Sangat bagus. Namun hanya
orang-orang kolot yang mempermasalahkan waktu. Sebaiknya kita tidak menyalahkan
waktu. Kasihan. Terlalu sering sudah waktu menjadi kambing hitam. Sudah saatnya
kita berhenti menyalahkan waktu. Salahkan diri kita sendiri. Mengapa kita tidak
bersuara disaat kita seharusnya bersuara? Suara kita mungkin bisa merubah
banyak hal!
Betapa
kita mengidap penyakit ‘suara’ yang akut terlihat ketika satu-satunya
pertanyaan, perihal transparansi dana, dapat dijawab dengan sangat baik oleh
Mr. Ifan Iskandar sang Ketua Jurusan. Tidak ada yang berani menimpali jawaban
beliau. Tidak ada yang berani menggali lebih lanjut, lebih dalam, seputar
jawaban beliau. Tidak ada yang berani atau tidak ada yang bisa? Tidak tahu.
Yang jelas semua orang diam. Ardy si pengaju pertanyaan juga diam, dengan
sedikit senyum, agak kecewa tampaknya. Mungkinkah jawaban yang mereka beri
adalah sebuah kebenaran hingga tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan? Atau
mahasiswa umbel seperti kita terlalu
bodoh untuk sekedar menimpali kata-kata seorang Magister
Humaniora? Ataukah kita terlalu takut untuk berbicara? Entah. Sekarang kau
tanyakan pada dirimu sendiri, bagaimana bisa suara dibungkam suara? Suaranya
jelas-jelas telah menelanjangi suara kita. Suaranya membungkam suara kita.
Dulu suara abang-abang kita juga dibungkam, oleh tindakan represif
pihak pemerintah yang tidak ingin singgasananya runtuh. Tapi itu tidak
berbahaya. Sungguh. Karena satu suara hilang, akan muncul ribuan suara lagi
dari belakang. Satu lagi hilang, muncul lagi ribuan. Mati satu tumbuh seribu.
Begitu terus. Jadi suara-suara itu akan terus muncul tidak akan pernah lenyap.
Yang justru berbahaya adalah ketika suara kita bisa dibungkam oleh suara orang
lain. Kau paham kan maksudnya? Ketika pernyataanmu dimentahkan pernyataan pihak
lain, dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk membela pernyataanmu. Ketika
kau punya pertanyaan yang disertai argumen-argumen valid nan jelas, harusnya
kau bisa terus menekan pihak penjawab untuk ‘kalah’. Iya kan? Bukannya malah
kau terbuai tarian lidahnya, hingga kau tidak bisa berkata apa-apa untuk menimpali
jawabannya. Hanya bisa diam sambil mengangguk-angguk. Hanya bisa pasrah
menerima. Dan saat itu terjadi, dalam diam mu, percayalah bahwa suaranya telah
sukses membungkam suaramu. Suaramu sudah dimatikan suaranya. Apa lagi yang bisa
kau lakukan? Tidak ada.
Tapi yang lebih, bahkan paling, berbahaya adalah ketika suara sudah
dibungkam oleh si pemilik suara itu sendiri. Tidak perlu dijelaskan lebih
lanjut, kau pasti sudah mengerti maksudku, fenomena ‘satu pertanyaan’ di ED’s
Gathering 2012 telah bercerita banyak. Ketika si pemilik suara sudah membungkam
suaranya sendiri, ketika si pemilik suara sudah membunuh suaranya sendiri,
tidak ada siapa-siapa yang bisa melakukan apa-apa. Suaranya sudah mati. Bisa
dihidupkan lagi, mungkin, tapi pasti sulit. Bagaimana caranya? Jangan tanya
padaku, aku pun tidak tahu jawabannya. Mungkin kau bisa bertanya pada kaki-kaki
meja yang teronggok di ruang kelas. Katanya mereka sudah mendengar ribuan jenis
pertanyaan dari ribuan jenis manusia, mereka pun pernah mendengar ribuan jawaban
dari ribuan manusia jenius, pasti mereka pernah mendengar pertanyaan macam ini
“Bagaimana cara menghidupkan suara yang telah mati?” Ya, aku pernah coba
bertanya pada mereka, pada kaki-kaki meja yang teronggok disudut kelas, dan
jawab mereka “Biarkan, biarkan mereka berisirahat dalam damai. Biarkan, biarkan
mereka mati. Bersama pemiliknya. Perlahan-lahan.......”
Kawan, “Keep Your Voice Alive” bukan tema yang dibuat sekedar untuk
menghiasi banner dan pamflet ED’s
Gathering 2012. Bukan pula empat buah kata yang disusun untuk dibiarkan
berkarat begitu saja. Lebih dari itu, adalah sebuah ajakan bagi kita semua,
untuk menyuarakan suara kita dengan lantang. Untuk tidak hanya menyimpan
pemikiran serta ide-ide kita dan membiarkannya membusuk. Untuk tidak membunuh
suara kita sendiri.
Ingat Kawan, suara kita adalah suara kencana. Sakti. Suara kita bisa merubah banyak hal. Seperti diamnya kita bisa
berpengaruh pada satu masa di depan kita. Suara kita adalah pangkal perubahan.
Sadari itu. Jangan biarkan suara kita mati. Karena seperti kata kaki-kaki meja
disudut kelas, pemilik suara akan mati seiring mati suaranya. Suara-suara yang
terbungkam akan mematikan pemiliknya. Pelan-pelan.
No comments:
Post a Comment